Pak Jokowi, Infrastruktur jalan tapi kenapa ekonomi seret?

Majikanpulsa.com – Sejak 2015 hingga 2022, anggaran infrastruktur mencapai Rp 2.768,9 triliun. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi gagal mencapai 7% yang dijanjikan Jokowi. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang tinggi menjadi salah satu penyebabnya, karena biaya korupsi dan pungli yang mahal, birokrasi masih bisa dilakukan, produktivitas tenaga kerja hingga biaya biaya logistik besar termasuk kantong pengusaha. UU Cipta Kerja belum memberikan hasil yang signifikan, alih-alih hasil, UU Cipta Kerja digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Jakarta, CNBC Indonesia – Sejak 2015 hingga 2022 atau tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, anggaran infrastruktur mencapai Rp 2.768,9 triliun.

Dari angka tersebut, ternyata anggaran infrastruktur menggelembung dari Rp 256,1 triliun pada 2015 menjadi Rp 363,8 triliun pada 2022. Bahkan, anggaran infrastruktur sempat menyentuh Rp 400 triliun pada 2018-2019 meski realisasinya mencapai Rp 394 triliun.

Sayangnya anggaran sebesar itu tidak diikuti dengan efek ekonomi masif. Pertumbuhan ekonomi gagal mencapai janji Jokowi sebesar 7%. Tak sampai 7%, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hanya bisa mencapai 5,31% pada 2022, level tertinggi sejak 2013.

Padahal bisa dilihat, infrastruktur yang dibangun pada era Presiden Joko Widodo atau Jokowi merupakan kategori infrastruktur yang lengkap mulai dari infrastruktur hingga infrastruktur besar, misalnya Jalan Trans Papua, bendungan, megaproyek listrik 35.000 MW, hingga mobil cepat.

Lantas, apa yang membuat infrastruktur tidak memberikan amplifikasi ekonomi?

Setelah diteliti, ternyata Incremental Capital Output Ratio (ICOR) menjadi salah satu penyebabnya. Dikutip dari BPS, ICOR adalah perbandingan antara tambahan output dengan tambahan modal.

Apabila suatu daerah memiliki angka ICOR (koefisien), namun daerah tersebut tidak akan menemui kesulitan dalam menentukan besarnya investasi yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Semakin kecil nilai koefisien ICOR maka semakin efisien suatu daerah pada waktu tertentu.

Direktur CELIOS Bhima Yudhishtira mengatakan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada era Jokowi mencapai 6,2%-6,5%, sedangkan ICOR pada era SBY sebelumnya sekitar 4,5%.

“Ini menunjukkan investasi di era Jokowi boros, tidak efisien. Jadi presiden Jokowi membuka karpet merah untuk investor, tapi ICOR lebih agar investor menghitung ulang semua perencanaan dan biaya,” kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Jumat (10/2). ). /2023).

Bahkan, Bhima mengatakan dalam perang dagang AS vs China, investor lebih memilih merelokasi pabriknya ke Vietnam yang ICOR-nya hanya 4,6%. Ini karena ICOR Indonesia terlalu tinggi.

Bhima menambahkan ICOR tinggi jika dicari salah satunya karena biaya korupsi dan pungli yang mahal, birokrasi masih bisa dilakukan, produktivitas tenaga kerja hingga biaya biaya logistik besar termasuk kantong pengusaha.

“Sedangkan tren Icor memburuk, era SBY jauh lebih bersahabat dengan investor. Jadi Pak SBY tidak perlu ‘silahkan investasi di negara saya’, investor sudah paham perhitungan biaya investasi dan risikonya,” jelasnya. .

Data ICOR Indonesia 2016-2022

– 2016: 6,73%
– 2017: 6,95%
– 2018: 6,72%
– 2019: 6,88%
– 2020: -15,09%
– 2021: 8,16%
– 2022: 6,2%

Sumber: BPS, diedit

Bahkan, mantan Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro pernah mengatakan, peningkatan ICOR Indonesia mencerminkan penggunaan modal yang penting karena terbatasnya fungsi intermediasi perbankan dan keuangan bagi masyarakat.

Sementara itu, pada tahun 2020, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia pernah mengatakan salah satu penyebab Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia tinggi, salah satunya adalah pungutan liar.

ICOR merupakan salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin kecil angka ICOR, semakin efisien biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan output tertentu. ICOR sangat bergantung pada fasilitas dan tenaga di pasar tenaga kerja.

Nilai ICOR yang paling tinggi berarti pemanfaatan investasi yang tepat untuk stimulus pertumbuhan ekonomi tidak efisien.

Bahlil menjelaskan, dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki ICOR 6,6. Tertinggi dibandingkan Malaysia dengan ICOR 4.5, Filipina 3.7, Thailand 4.4, dan Vietnam dengan ICOR 4.6.

“ICOR kita tinggi, alasan pertama karena terlalu besar,” jelas Bahlil (8/12/2020).

Iskandar Simorangkir, Deputi Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Perekonomian, pernah menjelaskan alasan ICOR Indonesia paling tinggi karena rumitnya proses perizinan usaha di Indonesia, karena faktor regulasi perizinan usaha yang lebih tinggi. (lebih diatur). Disebutkan, ada 43.604 peraturan di pusat dan daerah yang mengatur izin usaha.

Dari jumlah tersebut, 18.000 peraturan perizinan berada di pemerintah pusat, dan 14.000 peraturan menteri, serta 4.000 peraturan dari lembaga pemerintah non kementerian. Kegemukan aturan tersebut mencerminkan sulitnya mendirikan usaha di Indonesia.

“Siapapun yang ingin berinvestasi di Indonesia adalah pengusaha mikro baik di dalam negeri maupun investor asing, maka UU Cipta Kerja ini yang dituju,” kata Iskandar.

Namun hingga saat ini, UU Cipta Kerja belum memberikan hasil yang signifikan. Alih-alih hasil, UU Cipta Kerja digugat ke Mahkamah Konstitusi dan pemerintah harus mengejar target menerbitkan Perpu yang saat ini masih disetujui DPR.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Habiskan Rp 392 T, Ini Daftar Proyek Infrastruktur Jokowi 2023

(ya/ya)


#Pak #Jokowi #Infrastruktur #jalan #tapi #kenapa #ekonomi #seret Pak Jokowi, Infrastruktur jalan tapi kenapa ekonomi seret?

Source: www.cnbcindonesia.com