Dulu Mengikuti Pendapat Fidyah, Sekarang Mengikuti Pendapat Qadha

Dulu Mengikuti Pendapat Fidyah, Sekarang Mengikuti Pendapat Qadha – Dulu, fidyah adalah cara untuk membayar denda atas pelanggaran ibadah. Sekarang, qadha adalah cara untuk membayar denda atas pelanggaran ibadah. Qadha mencakup lebih banyak pelanggaran daripada fidyah, sehingga lebih banyak orang yang mengikuti pendapat qadha.

pertanyaan:

Mohon penjelasannya pak. Saya seorang saudara perempuan. Dulu saya percaya bahwa fidyah ibu hamil dan menyusui cukup jika mereka tidak berpuasa selama bulan Ramadhan. Namun setelah saya kaji ulang, ternyata ada kekeliruan di kalangan ulama dan kini mereka lebih yakin dengan pendapat bahwa qadha itu wajib daripada membayar fidyah. Lalu bagaimana dengan puasa saya yang tadinya hanya dibayar sebagai fidyah, apakah perlu diganti? Syukuran Sebelumnya.

Menjawab:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ashsalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, tapi no.

Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah puasa ibu hamil dan menyusui diganti dengan qadha atau dengan membayar fidyah atau keduanya (qadha dan fidyah sekaligus).

Allah Ta’ala berfirman:

Dan bagi mereka yang mampu, tebusannya adalah untuk memberi makan orang miskin.

“Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin” (QS. Al-Baqarah: 184).

Al-Baghawi, semoga Allah merahmatinya, menjelaskan ayat ini, “Ketahuilah bahwa seorang mukmin yang dibebani oleh syariah tidak dapat meninggalkan puasa, kecuali tiga kelompok:

Pertamamereka yang wajib melakukan qadha dan juga wajib membayar fidyah.

Keduamereka yang hanya wajib melakukan qadha dan tidak membayar fidyah.

Ketigamereka yang membayar fidyah saja dan tidak berqadha.

Adapun yang wajib qadha dan juga wajib membayar fidyah adalah wanita hamil dan menyusui jika mengkhawatirkan anaknya. Sehingga mereka dapat meninggalkan puasanya dan mengqadha puasanya. Dan keduanya wajib melakukan qadha dan juga membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, Mujahid, dan juga pendapat Ash-Syafi’i, semoga Allah merahmatinya. Dan sebagian ulama mengatakan bahwa ibu hamil dan menyusui tidak perlu membayar fidyah (hanya qadha). Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Atha, Ibrahim An-Nakha’i, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, dan merupakan pendapat Hanafiyah.

Adapun yang hanya wajib membayar qadha dan tidak membayar fidyah adalah orang sakit, musafir, wanita haid dan nifas.

Adapun orang yang hanya membayar fidyah dan tidak melakukan qadha, maka mereka adalah orang tua dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya” (Tafsir Al-Baghawi, 1/197).

Sebagian ulama, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dan sebagian besar santrinya, menguatkan pendapat bahwa wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah tanpa qadha. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anha, beliau bersabda:

Ini adalah relaksasi bagi pria tua dan wanita tua, selagi mereka mampu berpuasa, berbuka puasa dan memberi makan orang miskin sebagai gantinya setiap hari, dan wanita hamil dan menyusui jika mereka takut.

“Ada keringanan bagi lansia yang tidak mampu berpuasa, mereka membayar fidyah. Mereka menebus setiap hari puasa yang terlewat dengan memberi makan orang miskin. Dan juga ibu hamil dan menyusui jika khawatir” (HR. Abu Daud no. 2318, sah Syu’aib Al-Arnauth).

Sa’id bin Jubair, semoga Tuhan mengasihani dia, berkata:

Dari Ibnu Abbas atau Ibnu Omar, beliau mengatakan bahwa ibu hamil dan menyusui berbuka puasa dan tidak melakukan qadha.

“Dari Ibnu Abbas atau Ibnu Umar, beliau bersabda: Wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah dan tidak perlu qadha” (HR. Ad-Daruquthni 2/435, beliau berkata: “sahih”).

Sedangkan kewajiban puasa bagi ibu hamil dan menyusui adalah pendapat 4 madzhab. Mereka hanya berbeda pendapat apakah ada tambahan fidyah atau tidak selain qadha.

  • Mazhab Syafi’i dan Hambali mewajibkan qadha dan fidyah jika seorang wanita hamil atau menyusui mengkhawatirkan anaknya. Dan gunakan riasan hanya jika Anda mengkhawatirkan diri sendiri.
  • Mazhab Hanafi hanya mewajibkan qadha secara mutlak tanpa fidyah.
  • Rincian sekte Maliki. Wanita hamil wajib qadha tanpa fidyah. Sedangkan wanita yang menyusui dikhawatirkan disusui, dia wajib qadha dan membayar fidyah, jika dia hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri, dia hanya mengada-ada.

Maka pendapat yang kuat adalah bahwa ibu hamil dan menyusui tetap wajib berpuasa selama mampu. Wajib qadha didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala:

Maka siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan, maka jumlah hari lainnya adalah sama.

“Barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (kemudian berbuka puasa), maka (wajib baginya berpuasa), sebanyak hari yang dia lewatkan, pada hari-hari lainnya” (QS. Al-Baqarah: 184).

Dan seorang wanita yang mengandung atau menyusui seorang anak adalah seperti orang sakit. Karena wanita yang sedang hamil atau menyusui tidak selamanya akan tetapi akan kembali normal seperti sedia kala. Seperti sakit. Sehingga wanita yang sedang hamil atau menyusui wajib melakukan qadha. Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:

“Wanita yang sedang hamil dan menyusui adalah orang sakit. Jika mereka kesulitan berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa. Kemudian mereka harus melakukan qadha setiap hari sesuai dengan kemampuannya, seperti orang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka hanya wajib membayar fidyah. Pendapat ini sangat lemah. Padahal, mereka wajib qadah seperti musafir dan orang sakit. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

Maka siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan, maka jumlah hari lainnya adalah sama.

“Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan berbuka puasa), maka (wajib baginya berpuasa), sebanyak hari yang dia lewatkan, pada hari-hari lainnya” (QS. Al-Baqarah: 184)

Hal ini juga berdasarkan hadits dari Anas bin Malik Al-Ka’bi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Allah telah menghapuskan puasa dan setengah sholat dari para musafir, dan puasa dari wanita hamil dan menyusui

‘Allah ta’ala membatalkan puasa dan bagian dari doa bagi para musafir. Dan berbukalah bagi ibu hamil’ (HR. Al-Khamsah)” (Maj’mu Fatawa Wal Maqalah Mutanawwi’ah, vol. 15).

Beberapa ulama mutakhirin juga berpendapat dengan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Allah telah menempatkan setengah dari shalat dan puasa atas nama para musafir, ibu menyusui dan wanita hamil.

“Sesungguhnya Allah melepaskan setengah kewajiban shalat dari para musafir, dan melepaskan setengah kewajiban puasa dari orang yang sedang hamil dan menyusui” (HR. An-Nasa’i no.2275, anjuran Al-Albani dalam Sahih An- nasai).

Maka sebagaimana seorang musafir tidak kehilangan kewajiban shalatnya, demikian pula ibu hamil dan ibu menyusui tidak kehilangan kewajiban puasanya. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, “Dalam segala keadaan, tetap wajib melakukan qadha. Karena Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa bagi setiap muslim. Dan Allah Ta’ala berfirman kepada para musafir dan orang sakit:

begitu banyak hari lainnya

“Kalau begitu ubahlah di lain hari …”

Meskipun musafir dan orang sakit tidak boleh berpuasa karena alasan tertentu, namun qadha tidak jatuh pada mereka. Dengan demikian, orang yang berakal tetapi dalam keadaan santai min bab al-aula (lebih berakal) tidak kehilangan qadhanya” (Syarhul Mumti’ Syarh Zaadil Mustaqni, 6/223).

Jika Fikihnya Berubah

Jika diyakini bahwa wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah karena mengikuti fatwa atau ijtihad para ulama, maka mereka lebih yakin dengan pendapat bahwa wajib mengqadha tidak membayar fidyah untuk mengikuti. ijtihad jumhur ulama, maka berlaku kaidah fikih disini:

Ijtihad tidak batal dengan ketekunan

“Ijtihad tidak dapat membatalkan ijtihad”

Sehingga puasa sebelumnya telah sah diganti dengan fidyah, karena dilakukan berdasarkan ilmu yang benar berdasarkan ijtihad para ulama yang diikutinya saat itu. Adanya perubahan fikih yang sampai sekarang mengikuti ijtihad ulama lain tidak membatalkan amalan sebelumnya.

As-Suyuthi menjelaskan aturan di atas:

Asal usul ini adalah konsensus para sahabat, semoga Tuhan meridhoi mereka, yang diriwayatkan oleh Ibn al-Sabbagh, dan Abu Bakar memutuskan hal-hal yang tidak disetujui Umar dan tidak mengesampingkan keputusannya, dan Umar memutuskan syirik. dengan non-partisipasi, lalu dengan partisipasi, dan dia berkata sesuai dengan apa yang kami atur dan ini sesuai dengan apa yang kami atur

“Asal usul aturan ini adalah ijma para sahabat, radhiyallahu’anhum, sebagaimana dikutip Ibnu Shabbagh. Dan juga Abu Bakar pernah menetapkan hukum dalam suatu masalah, kemudian hukum itu disengketakan oleh Umar, namun Umar tidak membatalkan produk hukum dari apa yang diputuskan oleh Abu Bakar. Dan juga Umar pernah menyatakan bahwa orang musyrik tidak boleh ikut musyarakah, kemudian setelah itu beliau mengatakan bahwa mereka boleh ikut musyarakah. Kemudian dia berkata: Itu sesuai dengan apa yang kami putuskan sebelumnya, untuk saat ini sesuai dengan apa yang kami putuskan sekarang” (Al-Asybah wan Nazhair, 1/102).

Aturan ini juga berlaku bagi orang awam atau muqallid yang awalnya lebih yakin dengan fatwa ulama A, kemudian setelah itu lebih yakin dengan fatwa ulama B dalam masalah ijtihadiyah. Syekh dr. Iyadh As-Sulami menjelaskan,

Ini adalah aturan umum yang valid, yang menurutnya jika seorang mujtahid mengeluarkan fatwa, atau menyelesaikan keputusan berdasarkan ketekunannya sendiri, maka ketekunannya berubah; Dia tidak membatalkan fatwa sebelumnya, juga tidak membatalkannya setelah diberlakukan, dan juga jika dia mengeluarkan fatwa dan peniru mengamalkannya, maka pencabutannya tidak membatalkan fatwanya yang terkait dengan tindakan itu. Tidak ada perbedaan penerapan hukum antara perbedaan ijtihad kedua dari mujtahid pertama, atau dari orang lain, sebaliknya, jika ijtihad selanjutnya dari mujtahid pertama, maka lebih baik tidak memveto. dia.

“Aturan ini adalah aturan umum yang benar. Ketentuan ini memberi manfaat bahwa jika seorang mujtahid mengeluarkan fatwa atau memutuskan suatu hukum dengan ijtihadnya, kemudian dia merubah ijtihadnya, maka hal ini tidak membatalkan produk hukum yang pertama. Dan dia tidak perlu mengubah produk hukum pertama setelah memberlakukan hukum kedua. Demikian pula, jika fatwa itu diamalkan oleh seorang muqallid, maka perubahan ijtihad tidak mempengaruhi amalan muqallid. Tidak ada perbedaan apakah hukumnya berubah dari mujtahid pertama atau dari mujtahid lain. Kalaupun perubahan hukum itu berasal dari mujtahid lain, maka lebih tepat hukum itu tidak dicabut.(Ushulul Fiqhi alladzi La Yasa’ul Faqih Jahlahu, hal. 472).

Dewan Fatwa Islamweb juga menyatakan,

Jadi jika orang awam bertanya kepada seorang ulama yang merupakan mujtahid, dan dia memberinya fatwa, dan dia bertindak sesuai dengan kata-katanya, maka mujtahid lain memberinya fatwa yang bertentangan dengan kata-kata ini: dia tidak wajib membantah yang pertama; Karena kerja keras tidak dibarengi dengan kerja keras

“Orang awam jika meminta fatwa kepada ulama mujtahid, maka ia mendapat fatwa dan mengamalkannya. Kemudian pada masa-masa setelah itu ia meminta fatwa kepada ulama mujtahid lain dan diberi fatwa dengan pendapat yang berbeda. Jadi fatwa kedua tidak membatalkan amalan fatwa pertama. Karena aturannya: Ijtihad tidak dapat membatalkan ijtihad” (Fatwa Islamweb no. 322279).

Kesimpulannya, ibu hamil dan menyusui yang dulunya lebih yakin dengan pendapat yang menyatakan membayar fidyah saja, kini lebih yakin dengan pendapat yang menyatakan puasa qadha, tidak wajib mengqadha puasa sebelumnya yang diganti dengan fidyah.

Tuhan memberkati. Semoga Allah ta’ala mengaruniakan taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa may Allahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wasahbihi ajma’in.

#Dulu #Mengikuti #Pendapat #Fidyah #Sekarang #Mengikuti #Pendapat #Qadha Dulu Mengikuti Pendapat Fidyah, Sekarang Mengikuti Pendapat Qadha